Asap mengepul dari gelas teh yang dihidangkan di meja tamu, aku duduk diam mengamati ponsel. Hening, sepi begitu terasa tajam mengoyak ruangan tak begitu luas kafe ini.
Soekarno dengan senyuman dan tatapannya kaku memandang dari pigura di dinding. Satu jam sudah, tak ada tanda-tanda pesanku akan berbalas. Ada janji temu dengan orang penting, karena hubungan yang semakin genting.
Dua pria muda tengah dimabuk asmara duduk berhadapan di meja seberang, wanita setengah baya dan anak lelakinya (cuma dugaanku) bercengkrama saling menceritakan kegiatan masingmasing. Di ujung dekat jendela ada seorang pria yang terlalu sibuk senyumsenyum sendiri pada layar monitor tablet yang dipegangnya. Selain itu hanya ada empat orang pelayan yang masih sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Aku mulai mengantuk, kursi yang kududuki ini terlalu nyaman untuk jam-jam sekitar pukul 14. Udara pun mendukung sepoisepoi di antara bulu mata dan…
—
Mengerjap mata aku memandang sekitarku telah senja, di sebelah kananku sudah ada seorang pria. “Sudah puas tidurnya?” katanya sambil menuangkan kopi ke cangkirku. “Maaf aku ketiduran, sudah lama kamu? tanyaku balik.
“Lumayan, setengah jam.”katanya.
Kami saling menyeruput kopi masingmasing. Diam yang lama tanpa ada seorangpun ingin memulai pembicaraan lebih dulu.
“Kau ingin bicara apa?” Katanya akhirnya membuka cerita
“Tentang kita.” Jawabku
“Ada apa? Jangan berbelitbelit. Katakan sejujurnya dari hatimu.” Katanya membalikkan posisi tubuhnya kini menghadap ke arahku.
“Ada yang salah dengan hubungan ini. Aku tak bisa lagi mempercayai dirimu, aku tak bisa sepenuhnya mencintaimu, ada curiga yang tak ada habisnya di sana. Kaupun sepertinya sudah lelah pada hubungan ini, atau jenuh? Karena sering kutemukan dirimu sibuk dengan urusanmu sendiri dan mengabaikan aku.” Kataku tenang.
Dia diam. Mungkin berfikir.
“Mungkin kita memang gak cocok?” Katanya.
“Mungkin. Kau ingin menyerah saja?” Kataku menimpali
“Mungkin. Kau ingin menyerah pula?” Katanya.
“Aku masih menyukai hubungan ini, hanya saja ada yang salah. Kalau aku menyampaikan keinginanku apakah itu salah?” Tanyaku mantap
“Tidak ada yang salah dengan hubungan ini, aku hanya sedang sibuk dengan banyaknya pekerjaanku di kantor.”
“Aku tak sebodoh yang kau fikir.” Kataku.
“Aku tak menganggapmu bodoh. Kau terlalu curigaan, sikapmu membuatku lelah. Kita akhiri saja cinta ini.” Katanya sambil menghirup dalam rokoknya dan bangkit dari duduk untuk meninggalkanku.
Lalu gelap.
***
Aku mengerjap mata dan memandang sekitarku telah senja, aku diam lama dan memikirkan apa yang baru saja kualami. Mimpi?
Kursi di sebelahku dingin, tak ada siapa-siapa di sana, orang-orang yang tadinya ada di sana pun sudah berganti pula. Ada seorang gadis berkulit coklat dengan rambut pendek dan wajah ceria, menduduki bangku dekat pintu. Ada juga seorang pria paruh baya dengan gadis remaja yang menggelayut di lengannya di meja dekat jendela. Ada meja kosong dan pelayan toko baru yang asing wajahnya. Hanya Soekarno yang masih sama.
Kulihat jam sudah pukul 16. Aku beranjak menuju kamar kecil, mencuci tangan dan wajahku, lalu bercermin. Senyumku mengembang. Seratus tiga puluh tahun sudah, dan dia tak pernah datang menemuiku, dan aku sudah terlalu larut berjuang kalau hanya untuk menyerah.